Gerakan Mutu & Jiwa Humanis Bagi Guru
Oleh Y PRIYONO PASTI*
KOMPETENSI guru, kini mendapat sorotan. Dari 2,69 juta guru yang lulus uji kompetensi, hanya sekitar 6,1 persen dinilai tak perlu belajar lagi. Selebihnya, 93,9 persen harus menjalani pendidikan dan pelatihan (Kompas, 26/9/2016). Karena itu, menghadirkan guru bermutu yang betul-betul memiliki jiwa pendidik menjadi tuntutan.
Dalam rangka menghadirkan guru-guru bermutu yang memiliki jiwa pendidik (profesional) tersebut, pemerintah telah mengeluarkan rupa-rupa kebijakan. Diantaranya, kebijakan Sertifikasi Guru. Tujuan utama sertifikasi guru adalah untuk mewujudkan kompetensi guru yang mumpuni. Diharapkan dengan kepemilikan kompetensi mumpuni, pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran berjalan sangkil dan mangkus.
Kini, sebanyak 69.259 guru, baik yang diangkat sebelum 2005 maupun setelah tahun tersebut, bakal disertifikasi dengan biaya pemerintah. Untuk meningkatkan kompetensi guru, mulai tahun ini, nilai batas kelulusan Uji Kompetensi ditingkatkan. Peserta sertifikasi baru dinyatakan lulus bila memiliki nilai ujian tulis nasional minimal 80 dan kesempatan mengulang sebanyak empat kali dalam setahun.
Terkait sertifikasi ini, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sumarna Surapranata mengatakan, sertifikasi guru lewat pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) di 15 perguruan tinggi cukup diikuti sekali. Jika guru tidak lulus ujian sertifikasi guru, pembelajaran berikutnya dilakukan secara mandiri (Kompas, 26/9).
Di tengah masih rendahnya kompetensi guru, uji kompetensi dalam upaya meningkatkan kapasitas guru menuju pendidikan yang bermutu mesti disambut baik oleh semua kalangan. Diharapkan dengan pemilikan kompetensi yang mumpuni, guru semakin profesional dalam memfasilitasi para insan pendidikan potensial mengaktualisir potensi-potensi kreatif yang mereka miliki. Pada titik ini, upaya pemerintah meningkatkan kompetensi guru dengan menaikkan nilai batas minimal kelulusan uji kompetensi menjadi 80 menemukan aktualitasnya.
Namun hemat penulis, di tengah dinamika jagat pendidikan dengan segala dimensinya, perubahan, tantangan, dan persoalan yang menyertainya, utamanya terkait dengan nilai-nilai keutamaan hidup yang kini kian tergerus, selain membangun pribadi guru yang cerdas, hal sangat penting lainnya adalah membangun guru yang humanis. Guru mesti mampu menciptakan kondisi manusiawi dalam proses pembelajaran. Guru mesti membantu para siswanya untuk menjadi lebih manusiawi.
Marry Leonhart menunjuk sekolah yang baik adalah sekolah yang para gurunya sayang pada siswanya dan mengenal mereka dengan baik. Semakin guru mengenal secara pribadi para siswanya, semakin memungkinkan guru mempunyai etos mendidik yang kuat dan penuh cinta. Relasi guru dan siswa akan menjadi relasi khas pendidikan yang inklusif. Di sana ada relasi-interaksi kasih yang memungkinkan seluruh siswa berbaur saling belajar dan saling mengasah hati untuk menjadi semakin manusiawi (humanis).
Memberikan pengalaman manusiawi kepada setiap siswa tentu bukan perkara mudah. Lazim terjadi, demi kehormatan dan wibawa katanya, justru para guru memosisikan diri sebagai guru ‘killer’, sok kuasa, sok pintar, sok wibawa, suka marah, galak, keras, suka mengintimidasi, dan menjaga jarak dengan siswa. Padahal, mereka adalah aktor perubahan di jagat pendidikan.
Mendidik, menyampaikan nilai-nilai (values), atau mengajarkan keutamaan hidup mestinya melekat pada guru. Guru mesti memberikan keyakinan kepada para siswa bahwa sekolah adalah rumah kedua yang nyaman untuk setiap siswa belajar, tumbuh, dan berkembang. Guru di sekolah menjadi orang tua yang menyejukkan setiap hati.
Ini sangat penting mengingat (sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh pakar pendidikan J. Drost, SJ.) bahwa siswa lebih banyak mengingat yang dilakukan oleh gurunya daripada yang diajarkan gurunya. Kini, banyak siswa tak lagi mendengarkan pengajar (guru), tetapi mendengarkan sungguh-sungguh seorang saksi. Andaikan mereka mendengarkan para pengajar, itu terjadi karena mereka adalah saksi-saksi hidup. Untuk itu, guru mesti menjadi saksi hidup cara berelasi dengan sesama, menyapa, mengenal, menghargai, dan menghormati para siswanya.
Guru tidak boleh kehilangan kesempatan untuk memberikan keutamaan hidup. Menyapa, menghargai, menaruh hormat, berterima kasih, atau minta maaf adalah sebagian keutamaan yang harus ada dalam kehidupan bersama di kalangan siswa yang dimulai di ruang-ruang kelas.
Nilai-nilai keutamaan hidup tersebut tidak cukup hanya disampaikan bersemuka di depan kelas. Ia butuh sosialisasi, desiminasi, dan internalisasi. Agar penyampaian nilai-nilai keutamaan hidup itu berjalan sebagaimana yang diharapkan, sekolah mesti membuat sistem yang mampu melayani pendidikan nilai untuk semua siswa.
Di sini, hal yang penting dilakukan ialah meningkatkan mutu guru lewat pengembangan secara berkelanjutan yang difasilitasi pemerintah (yayasan) sehingga guru terdorong untuk terus memperbaiki dan meningkatkan kompetensi diri agar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada siswa.
Mudah-mudahan melalui pelayanan yang optimal yang diberikan oleh guru yang tidak hanya cerdas tetapi juga humanis, penanaman nilai-nilai keutamaan hidup tersebut dapat berlangsung sangkil dan mangkus sehingga para siswa kita mampu menjadi lebih manusiawi (lebih humanis).
Dengan demikian realitas empirik peyoratif-destruktif berupa raksasa terpelajar yang menindas dan korup, raksasa terpelajar yang abai terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip keutamaan hidup, dan raksasa terampil yang mengidap penyakit jiwa kronis dapat kita tanggulangi, paling tidak diminimalisir. Semoga!
*Penulis Seorang Pendidik, Alumnus USD Yogyakarta, saat ini sebagai Humas SMP Santo F. Asisi dan tinggal di Kota Pontianak.